Pada suatu
hari, hiduplah seorang pemuda labil bernama Bangun. Kebanyakan remaja, memang
masih mengalami masa-masa labil di dalam hidupnya. Beruntung, Bangun memiliki
dua sahabat baik bernama Bangkit dan Bintang yang bisa mengerti kelabilannya.
“Kit, gue
pengen banget eksis dan dikenal sama semua mahasiswa kaya si Joy! Tapi gimana
yak caranya?” Ucap Bangun sambil mengelus dagunya dan melihat ke arah Joy yang
sedang dikerumuni banyak cewek dan siluman setengah cewek.
“Ah, lu dari dulu
nanya mulu, kagak ada action! Lagian
si Joy udah dari sononya terlahir kaya raya dan punya wajah nampan. Mana bisa,
lu nyaingin dia.” Bangkit mencibir.
“Tampan keleus. Coba kucek mata lu dulu, dia
tampan diliat darimananya?” Bangun memicingkan matanya.
“Diliat dari
puncak Monas pake sedotan aqua gelas.” Ucap Bangkit tanpa ekspresi. Membuat
Bangun sontak tertawa membayangkannya.
“Hahaha! Bisa
jadi, bisa jadi.” Bangun manggut-manggut sambil tertawa.
***
Joy memasuki lobi kampus saat segerombolan cewek tulen dan
siluman setengah cewek menyerbunya. Dengan tampang maskulin dan status sosial tinggi
yang dimilikinya, membuat dia banyak digandrungi
kaum hawa yang sekedar naksir sampai yang tergila-gila padanya.
“Aaaaaaa… Joy! Nanti siang makan bareng yuuuk?” Ucap seorang
cewek mengguncang lengan Joy.
“Joooy! Makan bareng sama aku aja, ya?” Ujar cewek lainnya.
“Joy ganteng, sama akika aja ya. Dijamin deh endes!” Ucap
salah seorang siluman setengah cewek yang bernama Mince.
Melihat dua onggok cowok tengah melihat lekat ke arahnya,
Joy menghampiri mereka sambil mengusir para penggemarnya.
***
“Udara pengap banget ya pagi-pagi udah ngeliat muka dua
sejoli ini.” Ujar Joy masih dengan gaya sok coolnya
disertai senyum meremehkan.
Bangun seketika bangkit dari duduknya karena tersulut emosi,
“Maksud lu apa?”
“Kenapa lu Joy? Ada masalah sama kita?” Bangkit memegangi
bahu Bangun agar tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.
“Gue mau ngasih peringatan buat lu, supaya jauh-jauh deh
dari cewek idaman gue, si Bintang!” Telunjuk Joy mengarah kepada Bangun.
“Terserah gue dong, mau deket sama satpam kek, Bintang kek.
Ini negara demokrasi coy! Setiap warga negara berhak menentukan pilihannya.”
Bangun mengeluarkan jurus hafalan UUD ’45 andalannya. Efek dari hukuman
menghafal pasal karena hobinya tidur di kelas.
“Udahlah, nggak usah bawa-bawa UUD. Siapa nama lu? Bangun?
Bangun dari kubur? Haha.” Ejek Joy. “Inget ya, gue Joyo Kencono! Pewaris
tunggal harta kekayaan Joko Kencono. Jauhin Bintang Kejora gue, kalo nggak, lu
bakal tamat!” Ancam Joy sambil beranjak pergi.
“Eh, Koyo cabe Kencono! Gue nggak takut sama anceman lu!”
Teriak Bangun pada Joy. “Lo seharusnya malu, semua yang lu pamerin itu harta
bokap lu, bukan harta hasil keringat lu!”
“Udahlah, nggak usah lu ladenin. Ribut sama dia bikin capek
doang tau nggak.” Ujar Bangkit menasehati Bangun.
Joy kembali dan menarik kerah baju Bangun, “Nama gue, JOY! Harta bokap gue itu harta gue juga! Kenapa? Masalah buat lu? Hah?!”
Ucapnya dengan keras lalu mengenyahkan kerah baju Bangun dengan kasar. Rasa iri
Bangun terhadap ketenaran Joy seketika sirna saat mengetahui kelakuannya yang minus.
***
“Ganteng dan tenar, tapi kelakuan minus! Lu masih pengen ikut-ikutan tenar kaya si Joy?” Ucap Bangkit
sambil bercermin merapikan model rambutnya yang dibikin mirip Lee Min Ho, aktor
Korea favorit pacarnya.
“Gue jadi bimbang bambang nih. Tapi bagian di dalam hati
kecil gue yang paling kecil, masih bermimpi jadi tenar. OK! Gue pasti bisa
tenar tanpa harus ngikut-ngikut gayanya si Koyo cabe.” Bangun pun bangkit dari
duduknya.
“Terus, masalah Bintang Kejora gimana coy?” Tanya Bangkit
masih fokus dengan cerminnya.
“Sotoy aja tuh si Koyo cabe. Gue sama Bintang selama ini ya
kaya gue sama lu, Kit. Kita sahabat doang.”
“Menurut lu mungkin cuma sahabat, tapi emang lu tau gimana
menurut Bintang? Cewek terkadang emang susah buat nyatain perasaan ke temennya.
Apalagi kalo temenannya udah akrab banget.”
Bangun mulai jijik melihat kelakuan Bangkit yang absurb. “Kit, lu beneran kan masih cowok
tulen? Ngaca mulu luh! Jadi Mince, baru tau rasa! Haha.”
Bangkit spontan melempar kaca yang sedari tadi dipegangnya.
“Aduh cyin, khilaf gue. Haha.” Bangkit menirukan gaya Mince berbicara. Bangun
berhasil mengalihkan pembicaraan.
***
“Kit, nih, gue kemaren ke toko buku dan nemu buku ‘Cara
Jitu Menjadi Tenar’. Kita coba deh satu-satu.” Bangun membacanya dengan
antusias.
Bangkit pun ikut membacanya, “Dimulai dari hal yang
sederhana, tebarlah selalu senyuman juga keramahan meskipun kepada orang yang
tidak kamu kenal.”
Datanglah Bintang mengagetkan keduanya yang sedang serius
membaca, “Hayooo kalian lagi ngapaiin?” Suara Bintang yang menggelegar berhasil
membuat buku di tangan Bangun pun terlempar.
“Buseeet, nih cewek suaranya udah kaya toa masjid aja!”
Runtuk Bangkit mengelus-elus telinganya sama seperti Bangun.
“Hahaha! Pada serius amat. Baca apaan sih?” Bintang
mengambil buku yang terjatuh ke lantai. “Cara Jitu Menjadi Tenar? Siapa yang
pengen tenar? Kalian? Hahaha.” Bintang menertawakan kedua sahabatnya itu.
“Bintang, DIEM LO!” Bangun tiba-tiba membentak Bintang.
Seketika Bintang menghentikan tawanya dan suasana jadi hening.
“Jangan ketawa! Nanti lo tambah manis! Hahaha.” Kini giliran
Bangun yang menertawai Bintang. Bangkit hanya geleng-geleng kepala melihat
kelakuan temannya.
Bintang masih terdiam menutupi wajahnya dengan buku tadi
karena takut ketahuan kalau pipinya bersemu merah. “Dasar!” Hanya itu kata yang
bisa terucap dari bibirnya.
Bangun pun mencoba mengambil bukunya kembali dari tangan
Bintang, dan dia berhasil merebutnya. Bangun tidak menyadari semu merah di pipi
Bintang, tapi Bangkit menyadarinya.
“Ciee, Bintang, pipi lu merah gitu. Kena gombalannya si
Bangun lu ye?” Goda Bangkit pada Bintang.
“Apaan lu, Kit! Pipi gue merah gara-gara kena hawa dingin keleus.” Bintang menutupi kedua pipinya
dengan tangan.
***
Usaha Bangun ingin tenar pun terus berlanjut. Ada beberapa
cara yang gagal tetapi ada juga yang berhasil. Segala resiko dan efek ingin
jadi tenar pun diterimanya. Dari menebar senyum ke semua orang sampai dianggap
kurang waras. Bahkan di teriakin copet gara-gara maksa pengen bantuin ibu-ibu
dosen bawa tasnya. Di lain hari, Bangun berdandan ala ustadz yang tenar di
televisi, dengan kopiah dan baju kokonya.
“Assalamu’alaikum, Ahlan Wa Sahlan! Kaifaa Haluuq saudaraku?”
Seru Bangun dengan lantang di hadapan banyak mahasiswa dengan cengkok ala orang
arab yang dibuat-buat.
“Hahaha.” Seisi kampus tertawa melihat ulah Bangun untuk
kesekian kalinya. Dia memang benar-benar mempraktekan tips yang ada dibuku
miliknya itu.
“Wa’alaikumsalam, ya Bangun dari kubur! Haha. Gimana pun
caranya lu usaha pengin tenar kaya gue, lu itu nggak akan pernah bisa!” Cibir
Joy berlalu pergi sambil sengaja menabrakkan bahunya pada Bangun.
Bangun terpancing emosi. Beruntung, Bangkit serta Bintang
datang di saat yang tepat dan segera menahan Bangun yang ingin mengejar Joy.
***
“Duh, Pak Ustadz, kenafa ente jadi begini?” Bangkit
keheranan.
“Udahlah, apa sih
tujuan lu kalo emang nanti lu bisa tenar di kampus ini?” Bintang memukul bahu
Bangun dengan pelan.
“Yaa, awalnya gue emang iri sama ketenarannya si Koyo cabe.
Tapi gue udah punya tujuan sendiri. Gue ingin dikenal sebagai orang yang
berharga dan berguna buat kampus ini, kalo jadi ustadz begini kan biar kaya
yang di TV itu.”
“Lu mahasiswa bukan sih? Pikiran lu mesti dibenerin kayanya!
Eh, kalo ustadznya macem kaya lu, siapa yang mau jadi ustadzahnya? Haha!”
Bintang mencibir.
“Kan ada lo.” Sahut Bangun sambil berlalu, tanpa
mempedulikan efek perkataannya terhadap Bintang.
Untuk kedua kalinya pipi Bintang bersemu merah.
***
Bangun sudah lelah, dia sudah capek mengikuti anjuran buku
yang sampai kini tidak juga membuatnya menjadi tenar. Dia berjalan lesu menuju
pintu masuk lobi dan melihat adegan ala telenovela yang terjadi di hadapannya.
“Bintang, aku adalah hamparan langit yang mendambakan
sinarmu sejak dulu. Aku ingin kamu jadi satu-satunya penerang hatiku, terimalah
cintaku, Bintang.” Joy berlutut di hadapan Bintang sambil memberikan bunga
Kamboja.
“Sori, Joy. Gue nggak bisa jadi Bintang penerang lu. Karena
gue adalah bintang jatuh yang udah jatuh ke dalam hati orang lain. Lagian, gue
juga nggak suka bunga Kamboja, itu kan buat kuburan.”
Mendengar penolakan itu, Joy pun kecewa. “Sial! Gue ketipu
tukang bunga!”
***
“Bangun, muka lu kenapa? Kok ditekuk kaya origami gitu?”
Bintang mencoba melucu namun Bangun hanya menoleh lalu melanjutkan langkahnya.
Keduanya pun akhinya duduk di sebuah kursi yang disediakan
di lobi kampus.
“Gue galau, nggak tau harus gimana lagi biar bisa tenar.”
Ucap Bangun datar.
“OK! Dengerin gue baik-baik karena gue nggak bakal ngulangin
lagi.” Bintang pun berdehem sesaat. “Bangun, sebenernya lo nggak perlu
susah-susah ngikutin semua anjuran dari buku itu. Semua itu jadi nggak penting!
Kalo lo ngelakuin apapun, tapi jadi orang lain. Cukup jadi diri lo sendiri. Gue
jadi sahabat lo, karena lo menjadi diri lo sendiri. Lo ingin membuat diri lo
berguna untuk kampus ini, buatlah prestasi pake usaha lo. Ingat! Be
yourself.” Lalu Bintang tersenyum dengan manis.
Bangun pun hanya bisa tercengang mendengar petuah dari
Bintang ditambah lagi dengan senyum manis yang tersungging di wajahnya.
Bintang melihat jam tangannya, “Waduh! Gue ada kelas nih,
cin. Gue duluan yah! Daah~” Bintang pun berlari meninggalkan Bangun yang masih
tercengang.
Beberapa saat kemudian Bangun pun tersadar lalu membuka
panduan terakhir di buku sakti miliknya itu, “Ketika semua cara di halaman
sebelumnya telah kamu coba, kami yakin kamu tidak akan berhasil menjadi dikenal
atau terkenal (tenar) seperti orang lain! Karena sesungguhnya, proud
to be yourselp itu yang paling penting! Jadilah dirimu sendiri, niscaya
kamu akan tenar.”
“Sialan! Ini buku, sialan tapi ada benernya juga. Hah!”
Bangun pun melempar buku itu saking kesalnya.
Buku itu terlempar dan mengenai seseorang yang tengah
berjalan ke arah Bangun. “Aduh! Siake!”
Ucap Bangkit sambil mengelus-elus lengannya karena terkena lemparan buku sakti.
“Woy, Bangun! Wah, nggak kira-kira lu. Kena gue nih.” Sungut
Bangkit.
“Wahaha. Sori, Kit! Gue kesel banget soalnya sama itu buku!”
“Emang naha?
Kenapa?” Bangkit mengernyitkan dahi.
“Lu baca aja halaman terakhirnya.” Bangun memanyunkan
bibirnya. Bangkit pun membacanya dan seketika tertawa.
“Hahaha! Ini sih namanya pembeli buku yang kurang jeli. Tapi
ko tulisannya be yourselp ya?” Tawa
Bangkit.
“Tau deh, salah ketik kali penulisnya. Atau mungkin
penulisnya orang Sunda.” Bangun menaikkan bahunya.
“Walaupun ngeselin, tapi ada benernya juga tuh buku. Dan
sama banget dengan kata-kata yang disampein sama Bintang ke gue.” Ujar Bangun lagi
dengan senyuman.
“Memangnya Bintang teh
ngomong naon?” Mendadak Bangkit
berbahasa Sunda.
“Bintang ngasih nasehat kaya apa yang dibilang buku itu.”
“Bagus dong! Kita memang harus ‘be yourselp’! Haha.”
“Kesambet apa lu tiba-tiba pake bahasa Sunda?” Bangun
keheranan.
“So, apa hikmah yang lu dapet dari kejadian ini?” Bangkit
merangkul pundak Bangun.
“Gue hanya perlu menjadi diri gue sendiri, itu udah cukup. Be yourselp! Haha!” Bangun pun siap
untuk menjalani hari-hari selanjutnya tanpa harus membaca buku panduan apapun.
Karena menjadi diri sendiri itu lebih baik. : )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.