INVESTIGASI
MENGUSUT SISI LAIN DARI PEMANFAATAN FASUM (FASILITAS
UMUM) DI AREA PERUMAHAN
Bertahun-tahun
Priyono (42) seorang pedagang sayuran di Perumahan Taman Raya Bekasi, Kelurahan
Mangun Jaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kota Bekasi, Jawa Barat telah menggelar
lapak dagangannya di teras dari sebuah rumah kotrakan sederhananya. Dari hasil
berjualan sayuran itulah satu-satunya sumber penghasilan yang didapatkannya
untuk menghidupi keluarga. Kehadirannya selama ini sangat membantu para ibu-ibu
yang tinggal di sekitar komplek perumahan Taman Raya Bekasi, sehingga mereka
tidak perlu repot-repot pergi jauh ke pasar karena Priyono telah menyediakan
berbagai kebutuhan sayur mayur maupun kebutuhan dapur lainnya. Harga yang
ditawarkan pun hanya terpaut sedikit dari harga sayur mayur di pasar.
Namun, suatu
hari, pemilik rumah kontrakan yang ditempati Priyono dan keluarganya meminta
dia segera mencari kontrakan baru karena si pemilik rumah tersebut ingin
merenovasi dan menempati rumahnya. Priyono pun segera mencari kontrakan baru
yang tidak jauh dari rumah kontrakannya. Tetapi rumah kontrakan barunya
tersebut terletak jauh di ujung komplek dan jika dia harus membuka lapaknya di
sana pun akan membuatnya kesulitan menjangkau kembali pelanggan tetapnya. Jika
pelanggannya berkurang, maka akan mempengaruhi penghasilannya yang sudah
sedikit itu. Dia harus memutar otak untuk mencari lokasi berdagang baru yang
ramai dilalui dan mudah dijangkau oleh para pelanggannya.
Terdapat sebuah
taman berpagar yang tidak jauh dari rumah kontrakannya dan letaknya strategis
karena berada di tepi jalan umum komplek perumahan yang sering dilalui warga
sekitar. Priyono pun memutuskan untuk meminta izin secara lisan kepada warga
yang rumahnya tepat berada di sekitar taman tersebut. Satu per satu rumah
didatanginya dan disampaikannya permintaan izin. Tidak hanya itu, dia pun
mengajukan permintaan izin secara lisan kepada ketua RT dan RW yang
bersangkutan. Dan tidak ada yang menyatakan keberatan.
Setelah
meninggalkan kontrakan lamanya ke kontrakan baru, beberapa hari kemudia Priyono
mendirikan kios non-permanent di luar
daerah taman yang terpagar. Karena dia mulai berjualan sejak dini hari, dia
meminta izin untuk ikut menyalurkan listrik ke rumah salah satu warga yang
rumahnya persis berada di seberang lapaknya.
Lapak yang digunakan Priyono untuk menjual sayur |
“Ibu, saya ingin
minta tolong ikut menyalur listrik untuk lapak saya. Mungkin sekitar satu
minggu ini saya akan datang lagi, sebab saya masih perlu mengurus kontrakan
baru saya terlebih dahulu.” Ujar Priyono kepada Ibu Herlin (43), pemilik rumah
di seberang lapaknya itu.
Belum genap
seminggu, rencananya untuk menyalurkan listrik pun gagal karena Ibu Herlin
telah berinisiatif terlebih dahulu untuk segera menyalurkan listrik ke lapak
Priyono. Selain itu, Priyono tidak perlu membayarkan biaya dari penggunaan
listriknya kepada Ibu Herlin karena dia ingin membantu Priyono dengan tulus.
Setelah beberapa
minggu berdagang, muncul sebuah isu yang memojokkan Priyono. Isu tersebut
menyuarakan bahwa Priyono belum meminta izin ke pengurus RW dan sebagainya.
Tiba-tiba ada pihak yang tidak diketahui dari mana asalnya memasang sebuah
tulisan print out sekaligus
berlaminating “Dilarang membuang sampah di sini” kemudian memasangnya di atas
tempat sampah di dekat taman, tepat di samping lapak dagangan Priyono. Pihak RT
tempat kontrakannya sebelum ini pun yang dulunya hanya memasang satu sisi
portal rantai di perbatasan komplek, kini tiba-tiba memasang portal lain tepat
di samping lapak Priyono. Entah karena hanya kebetulan waktunya bersamaan dengan
pendirian lapak baru Priyono atau kah memiliki maksud lain, dia tidak terlalu
ingin ambil pusing soal masalah tersebut. Karena yang terpenting dia tidak
berbohong mengenai dia telah meminta izin ke semua pihak.
Melihat sikap
Priyono yang tidak terpengaruh sedikitpun dengan usikan itu, rupanya ada pihak
yang merasa jengkel dan tidak senang. Pihak tersebut melaporkan soal tindakan
Priyono yang memanfaatkan fasum (fasilitas umum) untuk berjualan kepada pihak developer (pengembang). Perwakilan dari
pihak pengembang pun datang, namun bukan datang ke rumah Priyono yang saat itu
sedang pulang kampung karena harus menghadiri acara pernikahan saudaranya di
kampung halamannya, Karanganyar, Jawa Tengah melainkan mendatangi rumah Ibu
Herlin dan memberikan surat peringatan untuk disampaikan kepada Priyono. Di
surat tersebut tertulis peringatan untuk membongkar lapak dagangannya dan
mengembalikan fungsi dari fasum menjadi seperti semula.
Ibu Herlin
sempat berdebat dengan pihak pengembang yang datang dan dia melihat hal yang
ganjil dengan surat peringatan tersebut. Sebuah surat resmi mestinya dilengkapi
dengan kop surat dari perusahaan pengembang yang bersangkutan dan juga
seharusnya ada cap stempel perusahaan di dalam surat tersebut. Dia tidak
menemukan keduanya di dalam surat yang “katanya” resmi tersebut.
Perwakilan
tersebut juga mengeluarkan kata-kata yang menakut-nakuti seolah berfikir bahwa
Ibu Herlin ini merupakan seorang ibu rumah tangga biasa yang mudah dibodohi dan
ditakut-takuti begitu saja hanya dengan sekedar kata-kata. Ibu Herlin rupanya
mampu menangkis segala kata-kata perwakilan developer
yang menjurus ke arah ancaman tersebut. Dan perwakilan dari developer tersebut menyarankan Ibu
Herlin untuk bertemu langsung dengan pimpinan perusahaan pengembang dengan
memberikan sebuah nomor telepon.
Ibu Herlin
berniat memberitahukan mengenai situasi genting tersebut kepada Priyono, namun
sayang sekali, dia tidak memiliki nomor ponsel maupun nomor kontak lain yang
berhubungan dengan Priyono. Dia hanya bisa berharap Priyono segera kembali dari
kampung halamannya. Sambil menunggu kembalinya Priyono, Ibu Herlin beserta
suaminya mencoba menghubungi nomor yang diberikan oleh perwakilan pengembang
itu, dan membuat janji untuk bertemu membicarakan sekaligus menyelesaikan
masalah pemanfaatan fasum tersebut. Beberapa hari kemudian akhirnya Priyono
kembali dari kampung halaman dan Ibu Herlin segera memberitahukan bahwa esok
hari dia harus mendatangi kantor pemasaran perumahan untuk bertemu dengan
pemimpin perusahaan pengembang untuk memusyawarahkan tentang masalah fasum.
Keesokan harinya
Priyono, Ibu Herlin beserta suaminya pun mendatangi kantor pemimpin perusahaan
pengembang tersebut dan bermusyawarah. Sang pemimpin perusahaan pengembang
menyampaikan bahwa sebenarnya fasum itu tidak boleh digunakan atau
dialihfungsikan untuk apapun. Bahkan peraturan mengenai Penyelenggaraan Izin
Pemanfaatan Ruang pun juga tercantum dalam peraturan perundang-undangan daerah
(PERDA) Kota Bekasi nomor 17 tahun 2011 seri E.
Namun,
sebenarnya jika melihat ke belakang, terdapat beberapa pedagang yang juga
memanfaatkan area pintu masuk perumahan untuk berjualan. Padahal pintu masuk
adalah akses utama untuk lalu lalangnya kendaraan yang keluar masuk perumahan.
Jika memang tidak mengizinkan Priyono yang hanya berdagang sayuran di luar
pagar sebuah taman, seharusnya para pedagang yang berjualan di pintu masuk
perumahan juga mendapatkan peringatan untuk membongkar lapaknya. Musyawarah pun
terus berlanjut, dan akhirnya pihak pengembang pun mengizinkan asalkan Priyono
memenuhi persyaratan surat-surat izin, minimal surat izin untuk mengganggu yang
telah disetujui oleh pihak-pihak yang tinggal di sekitar fasum yang
digunakannya untuk berdagang dan juga dilengkapi dengan cap stempel persetujuan
dari RW dan RT. Kedua pihak pun akhirnya telah mencapai kesepakatan dan Priyono
segera memenuhi persyaratan yang diajukan.
Memang benar,
jika dilihat dari segi peraturan, pemanfaatan fasum untuk keperluan pribadi itu
dilarang. Tetapi, kita juga seharusnya tidak melihat suatu hal hanya dari satu
sisi saja. Kita harus melihat sisi lainnya, dari sisi kehidupan yang dijalani
Priyono. Seorang ayah yang menggantungkan hidupnya dengan berjualan sayuran.
Dia harus bangun di tengah malam atau pun di pagi buta untuk segera pergi ke
pasar, berebut dengan pedagang lain agar mendapatkan sayuran segar yang akan
dijualnya kepada ibu-ibu di sekitar area perumahannya. Tak peduli walau harus
selalu kurang tidur, baginya mencari nafkah selain menjadi kewajiban untuk
menghidupi seorang istri dan keempat anaknya, itu juga bernilai ibadah. Dia pun
kembali berdagang di atas tanah fasum tersebut dan selalu berusaha menjaga
kebersihan lapaknya setelah dia selesai berdagang sekitar pukul 10.00 pagi
dengan mengumpulkan sampah-sampah sisa dagangannya kemudian membakarnya.
Negara ini
memang menciptakan aturan dan tata tertib bertujuan agar kita sebagai warga
negara Indonesia (WNI) dapat mematuhi dan melaksanakan tata tertib tersebut. Namun,
peraturan-peraturan tersebut bisa saja menjadi nomor ke sekian ketika masalah
tersebut sudah menyangkut soal rasa kemanusiaan, maka secara otomatis yang
tergerak adalah hati, perasaan ingin saling tolong menolong antar sesama
manusia sekaligus sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.